The Latest

Showing posts with label Marketing. Show all posts
Showing posts with label Marketing. Show all posts
Dari sisi pengguna tentunya iklan pop up dirasa sangat mengganggu. Bagaimana tidak, karena kita akan disibukkan dengan keharusan untuk menutup browser-browser yang otomatis terbuka dalam beberapa detik saja.

Namun dari sisi bisnis, kebutuhan akan pop up ini sangat dibutuhkan. Mulai dari kebutuhan mendeliver traffic (pengunjung) website, jadi seolah-olah website yang diiklankan dengan iklan pop up mendapatkan pengunjung banyak, walaupun pengunjungnya kemudian langsung menutup browser tersebut.

Dari sisi Marketing dan Periklanan, hal ini menjadi tantangan baru, bagaimana sebuah iklan yang tayang dalam waktu kurang dari satu detik atau kurang dapat terus dilihat oleh sipenerima iklan atau bahkan hingga Ia melakukan aktivitas lebih dari yang diinginkan oleh sang pengiklan (yang sebelumnya hanya mengharapkan hits ke web).

Ada 86400 Detik Dalam 1 Hari, Namun Anda Hanya Memiliki Waktu Tampilan Kurang Dari 1 detik dalam tampilang yang kemungkinan akan langsung di close.

Langkah perama yang harus dilakukan tentunya menyiapkan landing pages Halaman penawaran iklan yang akan muncul pada pop up nantinya. Apa saja konten yang harus dimuat dalam halaman tersebut?

Dalam Kitab Marketing Revolution Tung Desem Waringin ada tips bagaimana cara menjual roti dengan harga Rp. 300 juta atau lebih, dan menjadi rebutan orang-orang.

Irresistible Sensational Offer
Elemen dari Irresistible Sensational Offer adalah: Touchstone yang merupakan Kalimat atau pernyataan yang berisi sebanyak mungkin : a) Ini yang saya jual, b). Ini harganya, c) Kenapa anda harus percaya kepada saya serta d) Ini untungnya buat anda.

Ini adalah contoh-contoh dari The Greatest Touchstones sepanjang sejarah: Domino’s Pizza. The Touchstone : “Pizza hot and fresh to your door in 30 minutes… or less… or it’s free”. Yang kami jual adalah Pizza cepat.  Untungnya untuk anda segera dapat pizza ketika anda lapar atau gratis.  Anda harus percaya karena kalau lebih dari 30 menit anda dapat pizza gratis.  

Harga untuk memperkuat penawaran, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan: diantaranya adalah: 1) Keterbatasan, 2) Nilai tambah, 3) Risk reversal. contohnya:  Money Back Guarantee (MBG),  Installment payment/cicilan, The first one free (Free sample, Marketing ala narkoba),  Garansi Rusak. Ganti Baru,  Garansi Service Part, Pay for Result, Free support serta Try before you buy. 4)  Kemudahan dalam berbisnis, 5) Pricing Tactic. contohnya: Mahal dulu baru murah (Hukum perbandingan), Diskon; Rabat; Kupon serta 6) Rekomendasi
               
Formula Ajaibnya adalah: Perceived Value + Risk =  BIG SALES


Image Source: www.brandfreak.com
Pernahkah Anda ketika berjalan di Mall atau tempat keramaian terdapat stand produk maupun jasa dari sebuah perusahaan yang tidak sekedar menawarkan barang yang dijual, melainkan mengajak Anda untuk ikut mencoba maupun merasakan sebuah sensasi dari produk maupun jasa yang ditawarkan tersebut dengan cara-cara yang mungkin kita anggap unik atau menyenangkan. Sehingga Anda merasa terlibat secara emosi, perasaan, yang mendorong untuk berfikir sambil melakukan tindakan, hingga akhirnya kita rela terjun langsung dan mengajak orang lain untuk turut mencoba.

Dalam pendekatan pemasaran, hal tersebut dapat dikatakan sebagai strategi experiental marketing, dimana pelanggan diajak merasakan pengalaman nyata terhadap brand/product/service untuk meningkatkan penjualan/sales dan brand image/awareness. Experiential marketing adalah lebih dari sekedar memberikan informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri, tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak terhadap pemasaran, khususnya penjualan.
Menurut Prof Bernd H. Schmitt yang saya kutip dari jurnal pemasaran Fransisca Andriani (Petra) dengan judul Experiental Marketing (Sebuah Pendekatan Pemasaran), menjelaskan ada 5 pengalaman yang didapatkan pelanggan, antara lain:

1. Sense
Berkaitan dengan gaya (styles) dan simbol-simbol verbal dan visual yang mampu menciptakan keutuhan sebuah kesan. Untuk menciptakan kesan yang kuat, baik melalui iklan, packaging ataupun website, seorang pemasar perlu memilih warna yang tepat sejalan dengan company profile. Pilihan warna ini harus menarik untuk membangkitkan perhatian pelanggannya.

Sebagai contoh warna kuning atau merah biasanya lebih baik daripada biru atau abu-abu. Meskipun kedua warna terakhir ini merupakan warna yang umum dalam sebuah perusahaan karena merupakan simbol daerah yang ‘aman’, tetapi warna ini bukanlah warna yang sangat baik untuk menarik perhatian pelanggan. Pemilihan warna harus sesuai dengan kriteria dan image perusahaan.

Selain itu pilihan gaya (styles) yang tepat juga tak kalah pentingnya. Perpaduan antara bentuk, warna dan elemen-elemen yang lain membentuk berbagai macam gaya (styles) antara lain minimalis, ornamentalis, dinamis dan statis. Sebagai contoh adanya hotel dengan bermacam-macam gaya. Business hotel tentunya berbeda dengan resort hotel dari pemilihan warna, lokasi, furniture maupun gaya arsitekturnya.

2. Feel
Perasaan di sini sangatlah berbeda dengan kesan sensorik karena hal ini berkaitan dengan suasana hati dan emosi jiwa seseorang. Ini bukan sekedar menyangkut keindahan, tetapi suasana hati dan emosi jiwa yang mampu membangkitkan kebahagiaan atau bahkan kesedihan.

3. Think
Dengan berpikir (think) dapat merangsang kemampuan intelektual dan kreativitas seseorang. Sebagai contoh, perusahaan komputer Apple melakukan kampanye iklan komputer yang tidak umum. Iklan ini tidak menampilkan adanya komputer tetapi menampilkan tokoh-tokoh heroik abad 20 mulai dari Einstein hingga John Lennon. Hal ini dilakukan Apple untuk memperbaiki kinerja pemasarannya disamping untuk menarik pelanggannya agar berpikir lebih luas dan berbeda mengenai perusahaan dan produknya.

4. Act
‘Act’ berkaitan dengan perilaku yang nyata dan gaya hidup seseorang. Hal ini berhubungan dengan bagaimana membuat orang berbuat sesuatu dan mengekspresikan gaya hidupnya. Riset pasar menunjukkan banyak orang membeli Volkswagen Beetle sebagai mobil kedua setelah BMW atau Lexus. Mereka mempunyai gaya hidup tertentu; mereka ingin mengendarai mobil yang lebih enak untuk dikendarai daripada mobil pertama mereka yang lebih profesional. Jadi ‘Act’ di sini meliputi perilaku yang nyata atau gaya hidup yang lebih luas.

5. Relate
‘Relate’ berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya yang dapat menciptakan identitas sosial. Seorang pemasar harus mampu menciptakan identitas sosial (generasi, kebangsaan, etnis) bagi pelanggannya dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Pemasar dapat menggunakan simbol budaya dalam kampanye iklan dan desain Web yang mampu mengidentifikasikan kelompok pelanggan tertentu.

Harley-Davidson merupakan contoh kampanye ‘Relate’ yang mampu menarik beribu-ribu pengendara motor besar di Amerika dalam rally di penjuru negara itu. Pelanggannya kebanyakan mempunyai tattoo berupa logo Harley-Davidson di lengan atau bahkan di seluruh tubuhnya. Mereka menunjukkan kelompok referensi tertentu dengan apa yang dimilikinya..

Berdasarkan riset, dalam prakteknya ‘Relate’ selalu berhubungan dengan keempat aspek sebelumnya. ‘Sense’ biasanya berkaitan dengan ‘Relate’, ‘Feel’ dengan ‘Relate’, atau ‘Act’ dengan ‘Relate’-tetapi ‘Relate’ hampir selalu ada dimanapun.

Seorang pemasar harus hati-hati dalam menentukan pendekatan yang akan dipilihnya karena masing-masing pendekatan mempunyai dampak yang berbeda. Dengan pilihan pendekatan yang tepat atas produk dan jasa yang dijual, pelanggan akan memperoleh pengalaman seperti yang diharapkan pemasarnya.
Sejak pertama diperkenalkan dengan marketing kita pasti langsung dihadapkan dengan Marketing Mix (Product, Price, Promotion, Place) karena hal tersebut merupakan strategi dasar dari ilmu marketing.

Setelah itu kita akan lebih berkenalan dengan berbagai macam Mix lagi, antara lain Promotional Mix dan Marketing Communication Mix. Promotional Mix sendiri merupakan gabungan dari berbagaimacam strategi yang dapat digunakan sebagai sarana promosi, sedangkan Marketing Communication Mix merupakan strategi bagaimana produk maupun jasa kita dapat dikomunikasikan dengan baik kepada target pelanggan, dengan menggunakan seluruh media komunikasi.

Dari kedua strategi tersebut, jika kita mengacu kepada berbagai sumber, maka akan dapat ditemukan strategi-strategi yang dapat digunakan, antara lain:

Promotional Mix
1. Advertising (Iklan), presentasi berbayar dari ide, barang, atau jasa oleh sponsor yang teridentifikasi di media massa. Contohnya termasuk iklan cetak, radio, televisi, billboard, direct mail, brosur dan katalog, tanda-tanda, di-display toko, poster, aplikasi mobile, film, halaman web, iklan banner, email.

2. Personal selling adalah proses membantu dan membujuk satu atau lebih prospek untuk membeli barang atau jasa atau untuk bertindak atas ide melalui penggunaan presentasi lisan, sering dengan cara tatap muka atau melalui telepon. Contohnya termasuk presentasi penjualan, pertemuan penjualan, pelatihan penjualan dan program insentif untuk tenaga penjualan perantara, sampel, dan telemarketing.

3. Sales Promotion (Promosi penjualan) adalah media dan pemasaran non-media komunikasi yang digunakan untuk waktu yang terbatas yang telah ditentukan untuk meningkatkan permintaan konsumen, merangsang permintaan pasar atau memperbaiki ketersediaan produk. Contohnya termasuk kupon, undian, kontes, sampel produk, pameran dagang, trade-in, dan pameran lainnya.

4. Public relations atau publisitas adalah informasi tentang produk dan jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga secara tidak langsung perusahaan. Ini termasuk publisitas gratis serta berbayar. Hal ini dapat dilakukan dengan menanam berita yang signifikan secara tidak langsung di media, atau menyajikannya melalui siaran pers atau pesta ulang tahun perusahaan. Contohnya termasuk koran dan majalah artikel, TV dan radio presentasi, sumbangan amal, pidato, iklan masalah, seminar.

5. Direct Marketing (Pemasaran langsung) adalah bentuk saluran-agnostik iklan yang memungkinkan perusahaan dan organisasi nirlaba untuk berkomunikasi secara langsung kepada pelanggan, dengan metode seperti mobile messaging, email, website konsumen interaktif, iklan tampilan online, brosur, distribusi katalog, surat promosi, dan iklan luar ruangan .

6. Corporate image (Kampanye citra) perusahaan telah dianggap sebagai bagian dari bauran promosi
Sponsor dari suatu peristiwa atau kontes atau lomba adalah cara untuk menghasilkan publisitas positif lebih lanjut.

7. Guerrilla marketing (Taktik gerilya pemasaran) cara yang tidak konvensional untuk membawa perhatian kepada ide atau produk atau jasa yang dijual, misalnya dengan menggunakan grafiti, pemboman stiker, memasang selebaran, melakukan kampanye pemasaran viral, atau metode lain yang menggunakan internet dengan cara yang tak terduga.

8. Product placement (Penempatan produk) membayar sebuah studio film atau acara televisi untuk memasukkan produk atau jasa agar dapat terlihat menonjol dan dilihat khalayak ramai.

9. Sponsorship, menjadi sponsor dari suatu peristiwa atau kontes atau lomba adalah cara untuk menghasilkan publisitas positif


Marketing Communication Mix
Sedangkan untuk Bauran Komunikasi Pemasaran hampir sama dengan bauran promosi, perbedaannya dalam strategi komunikasi ada yang dinamakan strategi Word-of-mouth yaitu strategi bagaiaman sebuah ide, produk atau jasa yang kita jual menjadi pembicaraan orang banyak terutama mengenai manfaat atau pengalaman membeli atau pelayanan terhadap produk atau jasa yang dijual.

Strategi yang dipaparkan di atas, jika dijalankan dalam sebuah usaha, dapat mengakibatkan "Boom" terhadap ide, produk, jasa yang dipasarkan, tentunya harus dengan cara yang kreatif dan paduan pengelolaan sumber daya yang baik.

Walaupun strategi yang dipaparkan di atas sudah terlihat bagus dan cukup untuk membuat sebuah bisnis berkembang, namun strategi di atas barulah seperintil ilmu marketing dari luasknya samudra strategi marketing dalam sebuah Ide dan Kreativitas para aktivis marketing.
Dalam buku Radical Marketing Karangan Sam Hill & Glenn Rifkin, intinya Ia memberikan 3 Faktor otentik dalam strategi Pemasaran Radikal, antara lain:
1. Para pemasar radikal memiliki ikatan intuisi yang kuat dengan target market tertentu.
2. Para pemasar radikal cenderung fokus pada pertumbuhan dan melakukan ekspansi dari pada meraup profit jangka pendek di akhir tahun
3. Para pemasar radikal cenderung menyadari keterbatasan sumberdaya, terutama dalam hal anggaran. Sehingga mereka memacu otak kreatifnya untuk bekerja lebih keras.

Dalam pembahasan pada buku tersebut juga disertai dengan studi kasus menyangkut fenomena yang oleh penulisnya disebut ”radical marketing”. Para penulis membahas 10 perusahaan ( The Grateful Dead, Providian financial,Harley Davidson, The Iams Company, NBA, Snapon Tools, Virgin Atlantic Airways, EMC Corp, Harvard Business School dan Boston Beer Company).

Dalam tulisan pada blog saya pada kali ini akan lebih membahas mengenai pelajaran pemasaran yang dapat diambil dari sebuah grup band lawas yang bernama "The Grateful Dead" Karena menurut saya pribadi, strategi yang digunakan oleh grup band tersebut dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi penggiat dunia pemasaran pada saat ini.
Dari dahulu hingga kini, banyak grup band, penyanyi solo dan para seniman yang sibuk dengan aktivitas mensosialisasikan "Stop Pembajakan."

The Grateful Dead, sebuah grup band yang sudah didirikan sejak tahun 1965 tidak terlalu memperdulikan soal pembajakan, karena mereka percaya dengan lebih banyaknya pembajakan maka mereka akan lebih terkenal, mereka lebih mencintai komunitas fansnya ketimbang pusing memikirkan masalah pembajakan.
Mereka mendorong Fansnya "Dead Head" untuk merekam acara panggung dan kaset secara bebas, membangun jaringan komunitas serta melakukan penjualan tiket konser secara langsung dari tangan ke tangan.

The Grateful Dead memberikan konten Freemium, istilah yang dijelaskan Chris Anderson pada buku "Free, It's a radical Price" Band lawas ini membangun bisnis melalui konser ke konser, membangun loyalitas fans mereka, sehingga tercipta kolaborasi gaya hidup ala Dead Head.

Pada saat ini kita lihat industri musik atau film mulai banyak yang kebingungan karena dengan adanya teknologi informasi pada saat ini, melalui media internet semua orang bisa dengan bebas membagikan konten yang mereka punya, termasuk file digital mp3 maupun film.

Hal ini seharusnya dapat menciptakan kreativitas baru dari industri hiburan tersebut dalam memperoleh penghasilan. Mereka dapat memperlajari dari strategi Grateful Dead dan memodifikasinya dengan dunia modern pada saat ini.

Semoga bermanfaat.. :D
Baru-baru ini majalah Marketeers mempublikasikan hasil survei terhadap perempuan Indonesia. Survey yang dilalukan oleh MarkPlus Insight di tahun 2013 melibatkan 2.150 responden perempuan di 10 kota besar di Indonesia yang berusia 16-50 tahun di kelas sosial ABC.

Ada empat segmen perempuan Indonesia yang muncul dalam survei ini. Segmen pertama, High-Flyer. Segmen ini merujuk pada perempuan yang lebih memilih untuk mengejar kemapanan materi. Namun, mereka cenderung mementingkan diri sendiri.

Segmen kedua, Celebrity. Segmen ini merujuk pada kelompok perempuan yang fokus mengejar prestasi dan ketenaran. Namun, mereka cenderung mementingkan dirinya sendiri.

Segmen ketiga, Philantrophist yang merujuk pada pada perempuan yang lebih memilih mengejar kemapanan materi serta cenderung memiliki kepedulian yang tinggi untuk orang lain.

Segmen keempat, Socialte. Segmen ini merujuk pada perempuan yang fokus mengejar prestasi dan ketenaran. Mereka memiliki kepedulian yang tinggi untuk orang lain.

Dari survei tersebut, 50 persen perempuan Indonesia memiliki mimpi menjadi Philantropist karena hasrat mereka akan rasa aman termasuk kemapanan secara finansial, karakter sebagai caregiver yang kuat, dan peduli pada orang lain.

Kira-kira masuk segmen manakah anda?
Sudah lama sebenarnya ingin menulis mengenai fenomena pergeseran strategi perusaan yang pada awalnya menganut strategi multi level marketing (MLM) tanpa iklan di televisi. Simpang siur isu yang beredar di masyarakat, bagi para member produk mlm yang beriklan di televisi mereka merasa bangga dan merasa terbantu dengan iklan, namun tak jarang iklan di televisi ini digunakan pesaingnya untuk menjatuhkan dengan menebar isu, pasang iklan di televisi karena produknya tidak laku.

Beberapa perusahaan MLM yang pernah saya lihat penampakannya di televisi, antara lain: Tiansi, upperware, Sophie Martin, dan yang baru semalam saya lihat Oriflame.

Sebenarnya perusahaan melakukan pemasangan iklan di televisi yang biayanya tidak sedikit ini, merupakan salah satu langkah perusahaan dalam penyampaian komunikasinya kepada target pasar yang dirasakan mulai lemah penetrasinya jika hanya mengandalkan agen-agen yang selama ini bergerilya.

Bagi sebuah perusahaan, penerapan strategi agar perusahaan dapat terus sustainable sangatlah penting. Di era Horizontal marketing pada saat ini, kebanyakan pelanggan akan terus melakukan kroschek and re-check sampai Ia mendapatkan informasi yang dirasa akurat.

Dalam perusahaan yang menerapkan strategi MLM aktivitas komunikasi satu arah seperti iklan digunakan untuk menarik perhatian calon pelanggan dan penjelasan lebih mendalamnya diperoleh melalui agen-agen mereka yang telah eksis selama ini.

Jadi, menurut saya pribadi jika perusahaan MLM yang dahulu terkenal dalam kampanye memotong jalur distribusi dan biaya periklanan, pada saat ini harus direvisi ulang. Misalnya, mengoptimalkan promosi untuk membantu para agen dengan tidak mengurangi pendapatannya.

Multi Level MarketingMember get Member atau strategi lain dengan nama yang berbeda namun serupa hanya sebagian kecil dari segudang besar strategi marketing di Dunia ini.

Suka liat SPG rokok yang bening-bening turun ke jalan? Produk rokok yang dijual biasanya bukan keluaran perusahaan ecek-ecek lho, melainkan perusahaan rokok kelas kakap. Kenapa perusahaan tersebut menerjunkan SPG-SPG yang pating blewer tersebut untuk turun langsung ke jalan? Itu merupakan salah satu aktivitas marketing, untuk lebih dekat dengan konsumen sekaligus menggali informasi yang dibutuhkan perusahaan dari pelanggan langsung.

Above The Line (ATL) adalah aktifitas marketing/promosi yang biasanya dilakukan oleh manajemen pusat dengan menggunakan media lini atas sebagai upaya membentuk brand image yang diinginkan, contohnya : iklan di Televisi dengan berbagai versi. Sifat ATL merupakan media ‘tak langsung’ yang mengenai audience, karena sifatnya yang terbatas pada penerimaan audience.

Below The Line (Media Lini Bawah) adalah segala aktifitas marketing atau promosi yang dilakukan di tingkat retail/konsumen dengan salah satu tujuannya adalah merangkul konsumen supaya aware dengan produk kita, contohnya : program bonus/hadiah, event, pembinaan konsumen dll.

Semua aktifitas ini biasanya dilakukan oleh kantor perwakilan di daerah yang menjadi area pemasarannya. Pada intinya aktifitas BTL selalu bertujuan untuk mendukung dan memfollow up aktifitas ATL.

Sifat BTL merupakan media yang ‘langsung’ mengena pada audience karena sifatnya yang memudahkan audience langsung menyerap satu produk/pesan saja.

Below The Line ( BTL) adalah segala aktifitas marketing atau promosi yang dilakukan di tingkat retail/konsumen dengan salah satu tujuannya adalah merangkul konsumen supaya aware dengan produk kita, contohnya : program bonus/hadiah, event, pembinaan konsumen dll. Semua aktifitas ini biasanya dilakukan oleh kantor perwakilan di daerah yang menjadi area pemasarannya. Pada intinya definisi below the line adalah bentuk iklan yang tidak disampaikan atau disiarkan melalui media massa, dan biro iklan tidak memungut komisi atas penyiarannya/pemasangannya. Kegiatan promosi below the line suatu brand paling banyak dilakukan melalui beragam event. Dengan event ini, konsumen akan berhubungan langsung dengan brand, sehingga bisa terjadi komunikasi antara brand dengan konsumen. Beragam pendekatan dalam melakukan brand activation ini sudah banyak dilakukan.

Selain Below the Line dan Above the Line, belakangan dikenal juga istilah Through the Line. Istilah The Line pada awalnya digunakan akuntan untuk membedakan biaya promosi yang besar dan kecil. Namun seiring dengan perkembangan jalan dan Horizontalisasi marketing, maka dikenal istilah Through the Line yang merupakan aktivitas kreatif yang berdampak luar biasa.
Sebelumnya mari kita saksikan terlebih dahulu beberapa patah kata dari salah seorang marketer politik of the year yang sudah teruji dan terbukti dan diakui tentunya oleh banyak orang, silahkan menonton video songkat ini terlebih dahulu!:

Melihat pernyataan Pak Joko Widodo yang lebih dikenal akrab dengan panggilan Jokowi dalam video di atas terdengar sangat sederhana sekali bukan? Dalam perkataan memang terlihat sangat sederhana dan mudah, namun dalam pelaksanaannya membutuhkan konsistensi dan komitmen yang tinggi, serta melakukan personal branding dengan karakter yang unik dan dicintai masyarakat.

Marketing politik pada dasarnya adalah variasi dari strategi komunikasi pemasaran untuk mempromosikan seorang atau proyek politik dengan menggunakan model teknik pemasaran komersial yang dapat digunakan oleh organisasi-organisasi politik untuk pencapaian tujuan dalam hal program politik atau dalam memengaruhi perilaku para pemilih dengan melakukan serangkaian aktivitas pemasaran yang dirancang dengan baik.

Lebih spesifiknya bagaimana?
Dalam video pidato singkat pak Jokowi di atas beliau menyebut beberapa element ini: Positioning, Differensiasi, Brand, Promosi. Keseluruhan strategi tersebut dalam serial Nine core element marketing Hermawan kartajaya diulas dengan gamblang bagaimana kesembilan element marketing (segmentasi, targeting, positioning, selling, marketing mix, differensiasi, brand, service, dan proses) digabungkan menjadi serangkaian strategi, taktik, dan pengkomunikasian nilai untuk memenangkan Mind share, Market share, dan Hearth Share.

Keseluruhan element tersebut yang telah terdefinisikan atau telah dirancang terlebih dahulu, kemudian dikomunikasikan melalui strategi MARKETING COMMUNICATIONS MIX, yang antara lain:  Advertising, Sales promotion, Events and experiences, Public relations and publicity, Direct marketing, Word-of-mouth marketing, dan Personal selling.

Bagaimana Dengan 2014?
Seiring perkembangan zaman dan dunia teknologi Hermawan meluncurkan konsep dan strategi marketing baru yang disebut New Wave Marketing yang merupakan pengembangan dari 9 Core Element. From 9 Core Element to The 12Cs New Wave Marketing. Intinya New Wave Marketing merupakan strategi pernasaran secara horizontal, eksperiensial, dan komunal yang dilakukan secara online maupun offline sehingga tercipta suatu keadaan pasar yang selalu connected, catalyzed, dan civilized. Berbeda dengan Legacy Marketing, New Wave Marketing lebih mengedepankan pendekatan low budget, high impact.

1. Segmentation menjadi Communitization
Communitization adalah upaya membentuk suatu komunitas atau memanfaatkan komunitas yang ada. Dalam komunitas terjadi hubungan yang erat karena ada kesamaan interest atau values. Jika segmentasi, anggotanya tidak peduli satu dengan yang lainnya karena pembentukannya dilakukan oleh perusahaan sehingga sifatnya vertikal. Pelanggan dianggap berada di bawah produsen.

2.Targeting menjadi Confirming
Setelah mengidentifikasi sejumlah komunitas, kita akan mengconfirm ke komunitas mana kita akan bergabung (join). Dengan confirming kita berupaya menguji kebenaran sesuatu dan menghilangkan semua keraguan yang ada dengan mencari fakta‑fakta yang kuat. Kita harus menemukan komunitas yang mampu memberikan manfaat secara optimum. Sementara targeting dilakukan oleh perusahaan. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, seseorang bisa menjadi target market sebuah perusahaan. Hal ini memang sedari awal, sejak proses segementasi orang tersebut tidak pernah menjadi subyek, hanya menjadi obyek.

3.Positioning menjadi Clarifying
Positioning berarti apa yang kita inginkan di benak konsumen ketika mereka mendengar brand kita. Berkaitan dengan persepsi bukan peringkat produk di pasar. Misalnya Mercy, BMW dan Volvo. Produk yang hampir sama bisa punya positioning berbeda. Positining merupakan strategi untuk membangun kredibilitas di mata pelanggan. Sementara clarifying adalah melakukan klarifikasi pada confirmed‑community. Clarifying bermakna memperjelas sesuatu. Dengan melakukan klarifikasi, berarti kita memperjelas persona atau karakter kita kepada komunitas yang sudah kita confirm sebelumnya. Kita harus bisa menjawab, siapa diri kita yang sebenarnya, what is our color. Hal ini perlu dilakukan karena persepsi atau positioning tentang diri kita bisa terbentuk dari beragam pihak: dari perusahaan kita sendiri, dari pelanggan, dari media massa, dan bahkan dari pesaing kita. Dengan klarifikasi, kita memperjelas makna karakter kita kepada suatu komunitas. Setelah itu, klarifikasi ini akan berjalan di antara para anggota komunitas itu dengan sendirinya tanpa perlu melibatkan kita lagi.

4. Differentiation menjadi Coding
Diferensiasi merupakan upaya menciptakan perbedaan‑perbedaan yang signifikan pada sebuah merek. Diferensiasi sifatnya lebih konkret. Sebuah merek harus benar‑benar berbeda dalam hal konten (apa yang ditawarkan), konteks (bagaimana cara menawarkannya), dan infrastruktur (enabler) yang digunakan untuk menciptakan konten dan konteks. jika di STRATEGI kita musti punya customer knowledge, di TAKTIK kita harus punya competitor knowledge, maka dalam New Wave Marketing yang harus dilakukan bukanlah membangun diferensiasi, tapi CODING. Karena pesaing di lanskap New Wave semakin tidak terbatas. Perusahaan semakin sulit membangun positioning dan diferensiasi yang benar‑benar unggul, yang sulit ditiru oleh pesaing dan sekaligus juga diingat pelanggan. Karena itu, perusahaan harus dapat memasukkan diferensiasi tadi ke dalam “DNA” mereknya maupun pelanggannya.

5. Product manjadi Co‑Creation
Produk adalah element urutan pertama dari Marketing‑Mix, selain harga (price), saluran distribusi (place), dan komunikasi (promosi). Bukan hanya benda‑benda yang berwujud (tangible), namun juga termasuk benda‑benda nirwujud (intangible). Ada product lifcycle, dari Product Development, Introduction, Growth, Mature, dan Decline, dan banyak lagi konsep tentang produk. Dalam New Wave, produk tak relevan lagi, karena statis, bersifat satu arah dan berasal dari satu sumber. Sementara Co‑Creation cenderung lebih dinamis, bersifat interaktif dan berasal dari multisumber. Ponsel misalnya, pelanggannya saat ini bisa memodifikasi sendiri, misalnya menambah pernak‑pernik atau mengganti wall papernya. Tidak sama persis dengan produk keluaran perusahaan. Pelanggan bisa memberi masukan ke produsen.

6. Place menjadi Communal Activation
Place atau saluran distribusi dalam Legacy Marketing bukan lagi berbentuk perusahaan ‑perusahaan distributor atau peritel. Di era New Wave berupa Comunal Acivation, yaitu upaya mengaktifkan sebuah komunitas lewat para pernimpin/aktivis kemunitas. Orang‑orang itulah yang akan bicara Co‑Creation, mempromosikan, dan menjuaInya. Mengelola para aktivis komunitas bagi produsen akan lebih efektif ketimbang saluran distribusi tradisional. Mereka bisa bicara dengan “bahasa” komunitas, sangat memahami harapan anggota dan semakin berperan sebagai perantara antara produsen dan pelanggan.

7. Promotion menjadi Conversation
Promosi punya 3 tujuan, menginformasikan, membujuk dan mengingatkan pelanggan. Terdiri dari 5 element yang disebut marketing communication mix (MCM), yaitu advertising, public relations, personal selling, direct marketing, dan sales promotion. Belakangan setelah era internet, MCM bertambah banyak, ada event, internet, SMS, multimedia marketing, dll. Semua itu sifatnya top‑down, vertical, dan one‑to‑many. Dalam era New Wave Marketing lebih tepat disebut Conversation yang sifatnya horizontal, dua arah dan many‑to‑many. Conversation berarti terjadi diskusi alias interaksi antara dua pihak yang kedudukannya setara, juga low budget high impact marketing. Di sini kebenaran bukan hanya versi perusahaan, tapi kebenaran bersama. Pelanggan tentu lebih bisa menerima

8. Selling menjadi Commercialization
Selling merupakan taktik untuk menciptakan relasi jangka panjang dengan pelanggan melalui produk perusahaan. Ada 3 tingkat selling, yaitu: feature selling, benefit selling, dan solution selling. Dalam era New Wave Marketing, istilah yang tepat bukan selling lagi, tapi comersialization. Bersifat dua arah, terjadi proses pertukaran value antara perusahaan dan pelanggan, dan tidak dilakukan secara langsung. Perusahaan harus berupaya melakukan engagement dengan pelanggan sebagai pihak yang setara.

9. Brand menjadi Character
Perusahaan melakukan langkah pengelolaan merek (brand) untuk meningkatkan value terhadap produk/jasa yang ditawarkan. Merek inilah yang pada akhirnya akan menjadi pembeda antara satu produk dengan produk lainnya. Value (customer value) adalah hal-hal yang diterima pelanggan ketika membeli produk dibandingkan apa yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan produk tersebut. Dalam era New Wave, ini disebut dengan Character. “Baju” atau kemasan merek bisa berganti-ganti, namun kita tetap akan bisa mengenali karakternya. Contohnya adalah logo MTV dan avatar seseorang di Yahoo. Tidak ada yang baku, selalu berubah-ubah tapi tetap bisa dikenali.

10. Service menjadi Caring
Servis merupakan element kedua dari Value Pemasaran untuk memenangkan heart share, selain merek dan proses. Servis itu sudah taken for granted, sudah jadi sesuatu yang memang seharusnya ada. Semua perusahaan sudah melakukannya, semua pelanggan juga sudah mengharapkan nya. Bukan sesuatu yang luar biasa lagi. Caring is beyond service. Bagaimana pemasar bisa benar-benar memperhatikan pelanggan layaknya manusia. Dalam servis kita belajar dari hospitally business yang akibat terjeleknya pelanggan akan merasa tidak puas. Sementara caring belajar dari hospital business yang akibat terjeleknya, nyawa pasien jadi taruhannya. Dengan cara pandang ini, New Wave Marketers akan benar-benar memperhatikan pelanggannya. Dengan menerima caring, pelanggan bukan hanya akan merasa puas, tetapi juga bisa menjadi “manusia baru” layaknya seorang pasien yang baru selesai menjalani perawatan.

11. Process menjadi Collaboration
Proses adalah element terakhir dari Value Pemasaran sekaligus 9 element Inti Pemasaran. Secara garis besar sebuah perusahaan melakukan 3 jenis proses yaitu Routine Delivery Order (mengantarkan produk & servis ke pelanggan), Customer Handling (penanganan layanan/keluhan pelanggan), dan New Product Development (dari tahap penggagasan hingga penjualan ke pelanggan sebuah produk/layanan baru). Tujuannya adalah meningkatkan kualitas dengan biaya seminimal mungkin dan secepat mungkin. Quality, Cost, Delivery (QCD). Dalam era Vew Wave, islitah proses diganti dengan collaboration. Perusahaan harus menjalin kolaborasi dengan banyak pihak agar bisa lebih kompetitif dan menawarkan value yang lebih tinggi kepada pelanggan. Kemampuan perusahaan untuk memilih dan menjalin kerja sama dengan mitra yang tepat akan menentukan daya saingnya di lanskap New Wave yang seperti galaksi tanpa batas ini.


Yang perlu di perhatikan bagi para konsultan marketing politik, New Wave Marketing ini bukan merupakan subtitusi dari nine core element, melainkan kedua strategi ini harus dikolaborasikan dan dikomunikasikan kepada masyarakat, sehingga tujuan yang direncanakan dapat tercapai atau bahkan melebihi dari apa yang diharapkan sebelumnya alias "NJEBLUG".

Saat pertama kali disuruh mempelajari rencana dan strategi pemasaran pada yang pernah dilakukan pada tahun sebelumnya di tempat saya bekerja, saya melihat semua strategi yang digunakan merupakan strategi pendekatan atau public relation serta strategi komunikasi bauran pemasaran menggunakan media-media konvensional.

Dalam era digitalisasi dan koneksi internet pada saat ini, Markplus, Inc sebuah konsultan marketing terkemuka di Indonesia telah mengkombinasikan strategi 9 Core Element marketingnya dengan The 12 Cs New Wave Marketing. Dalam pembuatan perencanaan strategi pemasaran, saya mencoba menjelaskan bahwa strategi online yang saya terapkan nantinya bukan sebagai pengganti strategi offline yang telah ada, melainkan menjadi satu kesatuan strategi pemasaran yang mengkomunikasikan semua element bauran pemasaran pada perusahaan jasa menggunakan marketing communication mix.

Dalam Youth Marketers Magazine, dikatakan bahwa Media sosial bukan subtitusi media konvensional karena media tersebut tak ubahnya seperti anak baru keren di sebuah sekolah. Semua orang berebut berkenalan dan ingin bermain dengannya.

Masalahnya, ia tidak seperti media konvensional yang telah diakrabi merek selama bertahuntahun. Dibutuhkan perubahan radikal dalam berkomunikasi menggunakan media yang satu ini.

Media sosial adalah media komunikasi dua arah. Kampanye yang sukses adalah kampanye yang mampu menciptakan komunikasi aktif dengan para pengguna di media sosial tersebut.

Ketika masuk ke media sosial, merek perlu meruntuhkan segala jarak yang ada antara dirinya dengan audience. Mereka perlu melibatkan diri dengan target market-nya dengan cara yang natural. Memang orang-orang itu adalah target market para marketer. Namun, percayalah pengguna media sosial tidak akan senang bila para marketer berkomunikasi hanya untuk membujuk mereka menjadi pelanggan merek yang mereka usung.

Merek harus tampil lebih manusiawi di media sosial. Hal ini tentu sudah sering disampaikan di berbagai artikel. Meski begitu kesalahan ini masih saja sering dilakukan. Merek tampil sebagai sebuah otoritas yang dingin dan berjarak dengan audience-nya. Percayalah, itu bukan cara terbaik hadir di media sosial. Hal lain yang juga perlu dilakukan ketika masuk ke media sosial adalah dengan menawarkan konten yang menarik dan berguna bagi audience. Konten yang
relevan menjadi salah satu kunci kesuksesan.

Dengan menggunakan strategi online yang berupa media sosial, blog, website, forum online, video sharing, dan lain sebagainya saya rasa pada saat ini siapapun tentu setuju bahwa media ini memiliki kekuatan yang dasyat dalam mempengaruhi opini penggunanya tentang isu tertentu bila kita tahu cara memanfaatkannya. Untuk itu para marketer perlu terus mengeksplorasi media ini dengan pikiran yang terbuka dan mengkomunikasikan kepada jajaran tertinggi perusahaan agar dapat mempercayai bahwa penerapan kombinasi antara online dan offline marketing strategi akan sangat berdampak luar biasa terhadap era hyper competitif pada saat ini.
Chevrolet adalah produsen otomotif terbesar di Amerika. Pada tahun 1986, Chevrolet menjual 1,718, 839 unit. Chevrolet mencoba memanfaatkan kekuatan brand untuk mendorong penjualan dari produknya. Namun kini angka penjualan Chevrolet jauh di bawah merek-merek baik dari dunia barat maupun timur.

Mungkin bila Anda telah membaca artikel mengenai Levi’s yang melakukan ekspansi dengan cepat, Chevrolet juga melakukan tindakan yang mirip. Chevrolet mencoba menggunakan mereknya di semua lini produk yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan merek tidak menancap dengan kuat di benak konsumen. Meskipun dulunya merek telah memiliki pengaruh yang kuat, namun bila dilakukan pelebaran yang maksimal secara perlahan akan mengurangi pengaruh tersebut.

Pada waktu itu Chevrolet dihadapkan dua pilihan yaitu mencapai tujuan jangka panjang atau jangka pendek. Pada saat itu karena persaingan di antara produsen mobil mulai meruncing terutama dibarengi dengan manuver yang dilakukan oleh Ford, Chevrolet berusaha menjual produk sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan kekuatan merek. Hal ini cukup efektif untuk jangka pendek, angka penjualan terlihat meningkat. Namun untuk jangka panjang merek ini secara perlahan terlihat kabur di mata konsumen.

Beberapa perusahaan sering terjebak dengan paradigma ini. Banyak perusahaan yang mencoba menambah terus lini produk yang dimiliki dengan merek yang dimiliki. Tapi juga untuk meningkatkan market share. Sebetulnya hal ini dapat dilakukan bila perusahaan membuat arsitektur brand yang baik. Mulai dari merek utama sampai dengan sub brandnya. Sebagai contohnya saat itu:

  • Chevrolet sebagai merek utama dengan sub brand seperti: Camaro, Caprice, Cavalier, Corsica-Beretta, Corvette, Lumina, Malibu, Metro, Monte Carlo, dan Prizm
  • Pontiac sebagai merek utama dengan sub brand seperti Bonneville, Firebird, Grand Am, Grand Prix, dan Sunfire
  • Oldsmobile sebagai merek utama dengan Achieva, Aurora, Ciera, Cutlass Supreme, Intrigue, Eighty Eigh, dan Ninety Eight.
Sayangnya konsumen tidak melihat dengan cara ini. Dalam benak mereka, sebagian besar dari mereka mencoba mengasosiasikan hanya satu merek tidak peduli apakah itu merek utama ataupun sub brand. Akibatnya tidak ada konsistensi dari tiap merek. Atau bahkan dalam beberapa kasus, asosiasi antar merek menjadi terbalik satu sama lain. Atau dalam kasus lainnya konsumen menyingkat merk seperti Corvette menjadi Vette.

Chevrolet dan juga para pemasar seringkali lupa bahwa merek sebaiknya dirancang sesingkat mungkin, mudah diucapkan, dan mudah diingat. Pemasar juga sering beranggapan bahwa penjualan dipicu oleh merek perusahaan. Anggapannya salah satu alasan konsumen membeli barang karena merek terkenal. Hal itu memang berlaku namun perlu diingat merek juga dibangun berdasarkan penjualan di pasar. Hanya dengan penjualan yang baik, merek dapat dibangun dengan baik.  Sehingga perlu diingat kembali ketika perusahaan melakukan brand extension dengan menggunakan merek yang sama pada jenis produk yang lain. Perlu dipikirkan efek jangka pendek dan panjangnya.

Artikel ini diadaptasi dari buku 22 Immutable Laws of Branding karangan Al Ries dan Laura Ries
Sebenernya dari dulu pingin banget nulis soal perawan ini, soalnya banyak juga waktu itu komentar tentang gudangupil. Tulisan yang akan dihadirkan ini, diadaptasi dari buku Brand Leadership karangan David A.Aaker dan Erich Joachimsthaler. Kawan pembaca diharap tidak mengartikan judul secara saklek, anggap saja seperti judul angin berbisik yang dapat diartikan sesuai persepsi penikmat seni.

Pada tahun 1970, Richard Brandson bersama dengan beberapa rekannya mendirikan Virgin Records, sebuah perusahaan rekaman kecil di London yang diikuti oleh toko retailnya pada tahun 1971 di Oxford. Mereka milih nama Virgin karena dianggap mencerminkan kondisi mereka saat itu yaitu usia muda dan kurangnya pengalaman dunia bisnis. Dalam waktu 13 tahun, perushaan berkembang dan mengembangkan jaringan toko rekaman dan menjadi perusahaan label independen terbesar di Inggris dengan menggandeng beberapa artis ternama seperti Phil Collins, Sex Pistols, Mike Oldfield, Boys George, dan Rolling Stones. Pada tahun 1990 an bisnis retail ini tumbuh menjadi beberapa ratus toko Virgin di seluruh dunia

Pada tahun Februari 1984, seorang pengacara muda mengajukan proposal kepada Richard Brandson untuk memulai maskapai penerbangan baru. Dewan direksi menentang ide tersebut, namun Richard memiliki persepsi lain. Ia percaya bahwa pengalaman perusahaan dalam bidang hiburan dapat memberikan nilai tambah pada bisnis penerbangan. Menurutnya, ia memiliki anggapan bahwa industri penerbangan tergolong membosankan, Ia terpacu untuk membuat perusahaan yang attraktif dan menawarkan kesenangan pada pengalaman selama terbang.

Virgin juga menawarkan value untuk setiap produk yang dikeluarkan. Perusahaan mencoba untuk menyediaan semua kelas penerbangan denga kualitas terbaik dengan biaya minimal. Pada tahun 1997, Virgin Atlantic Airways telah melayani 30 juta penumpang dan penjualannya sendiri mencapai 3.5 milyar dollar dan menjadi pemain kedua dalam industri penerbangan

Kesuksesan Virgin adalah hasil dari buah pemikiran dan insting Richard Brandson, Richard memilih untuk masuk ke dalam industri penerbangan, memiliki visi jangka panjang, kualitas dan kewirausahaan dari tim manajemen, dan peruntungan yang baik. Dan didukung oleh value dan asosiasi dari core brand Virgin yaitu kualitas jasa, inovasi, kesenangan, dan value for money.

Model bisnis Virgin sendiri terkesan blak-blakan. Perusahaan masuk ke dalam pasar yang telah penuh dengan persaingan dengan karakter pasar yang penuh dengan birokrasi dan tidak responsive pada permintaan konsumen. Sementara Virgin dipersepsikan sebagai maskapai underdog yang peduli, berinovasi, dan menyampaikan alternative yang menarik pada konsumen.

Merek Virgin dipersepsikan lekat dengan inovasi pelayanan dan nilai serta aksi dari Richard Branson. Virgin dianggap memiliki rasa humor yang tinggi, sosok underdog yang menyerang pemain mapan, dan memiliki kompetensi tinggi dengan kualitas pekerjaan yang baik didukung standar yang tinggi. Virgin memiliki karakter tersendiri yang beda dengan yang lain. Karakter perusahaan kuat tertancap di benak banyak konsumennya di banyak negara.

Kadang untuk masuk pada pasar yang telah stabil dan stagnan, pemain baru harus membawa keunikan yang berbeda dari para pemain di pasar yang dituju. Kekontrasan menjadi hal yang penting sehingga konsumen merasakan diferensiasi yang dimiliki perusahaan dibanding pesaingnya. Value yang ditawarkan juga berbeda dan memiliki karakter tersendiri.

Fotokopi yang tahan lama sangat mustahil sebelum jaman B.C. (Before Carlson). Sebelumnya, sistem fotokopi menggunakan termografi yang memproduksi fotokopi pada kertas dan mulai buram tidak lama setelah dibuat. Chester Carlson merubah ini semua dengan penemuan fotokopi pada kertas yang mulus, suat sistem yang menggunakan listrik statis untuk memindahkan gambar dari satu kertas ke kertas yang lain. Ia menyebut sistem ini sebagai xerography suatu kata turunan dari kata-kata Yunani untuk kering dan menulis.

Pada awalnya penemuan ini sangat sulit dijual. Selama 10 tahun ia menawarkan ke banyak perusahaan untuk menemukan pembeli potensial untuk penemuannya. Sampai pada akhirnya suatu perusahaan New York kecil bernama Haloid membeli hak untuk mengembngkan mesin xerographic. Haloid kemudian berganti ama menjadi Haloud Xerox dan pada tahun 1959 mengenalkan Xerox 914 sebagai mesin fotokopi otomatis pertama di dunia. Fortune menyebutnya sebagai produk yang paling sukses dipasarkan di Amerika. Pada tahun 1968, penjualan perusahaan mencapai 1 milliar dollar dan menjadi 100 perusahaan terbesar di Amerika.

Namun Xerox terlalu erat dengan image mesin fotokopi, Xerox telah mencoba untuk melebarkan lini produknya dengan mengakuisisi perusahaan perusahaan komputer, membuat faksimili, printer, dan produk lainnya. Berbagai upaya pemasaran telah Xerox lakukan untuk menjauhkan image Xerox dari sekadar mesin fotokopi namun hasilnya tidak maksimal. Beberapa contoh headline periklanan di sini seperti “How to Tell the real Xerox from Xerox copy”, “This is not about copiers,” dan berbagai contoh iklan lainnya.

Beberapa pelajaran yang diambil Xerox dari pengalaman ini adalah:

Xerox tidak dapat meninggalkan citranya sebagai mesin fotokopi dengan komputer
Xerox tidak dapat meninggalkan citranya sebagai mesin fotokopi dengan Ethernet
Xerox tidak dapat meninggalkan citranya sebagai mesin fotokopi dengan tim Xerox

Masyarakat hanya mengingat ketenaran pada perusahaan, tidak lebih. Kesalahan pada manajemen Xerox adalah terus memerangi image image fotokopi. Padahal perusahaan sebetulnya sulit untuk merubah apa yang ada di benak konsumen. Sebaiknya Xerox justru menggunakan kekuatannya untuk melakukan langkah strategis untuk bersaing dengan IBM dan AT&T di industri informasi. Terlebih lagi pada saat itu Xerox telah menguasai satu dari tiga pilar peralatan kantor di Amerika. Pilar pertama adalah pilar telekomunikasi yang dikuasai AT&T, pilar input yang dikuasai mesin tik IBM, dan pilar output yang dikuasai Xerox. Sebelum pada akhirnya sistem kantor hanya membutuhkan satu pilar saja yaitu sistem yang terotomotasi mulai dari komunikasi, input, sampai dengan output.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari kasus ini adalah dimana perusahaan sebaiknya mempergunakan kekuatan yang telah dimiliki untuk menghadapi persaingan bukan malah membuang kekuatan yang telah dimiliki. Dengan menguasai satu pasar, perusahaan dapat menggunakan kekuatan ini untuk menguasai pasar kompetisi yang lebih luas.
the-marketeers.com

Bank kota New York membuka bisnisnya pada tanggal 16 Juni 1912 dengan modal sebesar 2 milliar dollar. Pada awalnya bank ini didirikan untuk menyediakan pelayanan finansial pada pedagang lokal di Kota New York yang sangatg membutuhkan pembiayaan. Perkembangan kemudian, Bank Kota New York telah menjelma menjadi merk global yang dominan. Bank ini kemudian berganti nama menjadi Citibank pada tahun 1976 dengan perusahaan induk bernama Citicorp. Dan merubah industri perbankan Amerika pada tahun 1977 dengan Citicard Banking Centers, yang merupakan pelayanan yang mudah digunakan dan ATM yang fleksibel. Pada waktu yang sama Citibank meluncurkan program pemasaran yang melegenda bernama “The CITI never sleeps”.

Citibank melanjutkan tradisinya dengan menyediakan inovasi teknologi pada industri perbankan konsumen pada tahun 1980 an dengan mengenalkan ATM touch screen. Untuk memastikan posisi dominan pada pasar, Citigroup dan Travelers melakukan merger menjadi Citigroup pada 6 April 1988. Merger ini menjadikan Citigroup institusi finansial yang mencapai 1 triliun dollar pertama di dunia. Brian Ruder, executive vice president yang menangani aktivitas branding Citibank mengatakan bahwa branding adalah ikatan emosional antara retailer dan konsumen. Disney diartikan sebagai kesenangan pada benak orang. Nike diasosiasikan sebagai atletis dan Coke adalah penyegar. Sedangkan Citibank sebagai aspirasi. Citibank teraspirasi menjadi lebih dari sekadar bank, dimana hal ini dituangkan ke dalam satu merek.

Bagi Brian, merek adalah janji dimana janji tersebut tercermin pada aktivitas harian. Untuk memastikan perusahaan berjalan sesuai janji, kita harus mengintegrasikan standar merek yang artinya Citibank harus mengintegrasikan kualitas pada setiap interaksi dengan konsumen. Ruder menganggap merek adalah suatu makhluk hidup dan orang-orang dalam organisasi sebagai aliran darahnya. Untuk memastikan brand terserap pada setiap karyawan, Citibank bahkan membuat Brand Book yang diberikan pada setiap karyawan. Dengan buku ini, Citibank memastikan konsistensi brand baik eksternal dan internal. Setiap karyawan Citibank menjadi brand manager dan menjadi perwakilan dari citra perusahaan. Hal ini membutuhkan pemahaman dan komitmen dari setiap karyawan untuk menjaga agar merek selalu tetap relevan, berbeda, menawarkan kualitas baik, dan meraih kepercayaan konsumen.

Selaras dengan merknya, Citibank menjadi merek yang tidak pernah tidur dimana mereka selalu berkelanjutan untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengintegrasikan dari visi dan doktrin brand strategy.

Artikel ini diadaptasi dari  buku The Brand Mindset karangan Duane E. Knapp

Starbucks Coffee Company didirikan pada tahun 1971, membuka toko pertamanya di Seattle’s Pike Place Market. Kini Starbucks adalah merek terkemuka untuk retail kopi special. Starbucks adalah salah satu icon kesuksesan pada tahun 1990 an, lebih dari 8 juta orang mengunjungi Starbucks setiap minggunya. Merek perusahaan menjadi merek yang paling mudah dikenali masyarakat global saat ini.

Ketika Howard Schultz masuk ke dalam perusahaan pada awal tahun 1980 an sebagai direktur operasional retail, Starbucks adalah perusahaan lokal dengan kualitas kopi bagus di kota. Semua kesuksesan Starbucks bermula dari visi Howard Schultz untuk pengembangan jaringan outlet. Howard dikenal sebagai orang yang menghindari sistem Franchise. Baginya Franchise adalah orang tengah yang berada antara Starbucks dan konsumennya. Starbucks lebih menyukai melatih orang sendiri dan mengoperasikan semua toko sehingga kualitas setiap kopi yang disajikan terjamin.

Dalam perjalanannya, Starbucks selalu lebih banyak menghabiskan dana untuk training daripada iklan. Ia memiliki kepercayaan bahwa partner (istilah ntuk pegawai Starbucks) akan membawa Starbucks melewati abad berikutnya. Starbucks menjadi symbol dari kebudayaan bermasyarakat modern dan menarik banyak perusahaan untk menjalin kerja sama dengan Starbucks.

Starbucks tidak ingin membatasi diri mereka berdasarkan lokasi, metode tradisional, atau kebijakan konvensional. Starbucks menjalin kerja sama dengan perusahaan lainnya untuk tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Aliansi merek membuat Starbucks mewujudkan visi mereka. Hubungan dengan rekan aliansi mendorong Starbucks mentransformasikan ide ke dalam ekstensi merek perusahaan. Beberapa aliansi strategis dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Contohnya Starbucks menjalin kerja sama jangka panjang, contohnya pada bulan September 1998 Starbucks menjalin hubungan jangka panjang dengan Kraft Foods untuk mengakselerasi penetrasi Starbucks ke dalam supermarket.

Starbucks mencari rekan strategis yang dapat menguatkan merek perusahaan. Mereka hanya mengadakan kerja sama dengan merek yang sesuai dan konsisten dengan reputasi Starbucks akan kualitas, kepemimpinan, dan karakter usaha. Memiliki visi dan mengembangkan tipe jenis yang tepat untuk aliansi. Dengan aliansi strategis yang baik, Starbucks dapat masuk ke dalam kategori baru dengan lebih mudah, mempertajam keunggula bersaing, dan mendorong pertumbuhan bisnis perusahaan. Untuk itulah aliansi strategi memiliki peranan penting seiring dengan berjalannya bisnis.

Artikel ini diadaptasi dari  buku The Brand Mindset karangan Duane E. Knapp

Merek yang asli selalu memimpikan impian besar. Merek-merek ini akan menyesuaikan mimpi mereka dengan visi merek untuk standard an ekspektasi. Lexus adalah merek yang didirikan oleh Toyota pada tahun 1987, dan mulai membuka bisnis di Amerika serikat. Lexus mengambil pasar mobil mewah dan berhasil mendahului Saat, Peugeot, Sterling, Jaguar, Alfa Romeo, an Porsche pada tahun pertama. Pada tahun 1992, Lexus berhasil mendahului BMW, Infinity, dan Mercedes. Lexus sebenarnya adalah visi Eiji Toyoda pada tahun 1983. Eiji memahami pasar dimana konsumen telah memiliki ekspektasi yang tinggi seperti pada Mercedes, BMW, dan Cadillac. Eiji percaya bahwa Toyota dapat mendesain dan membangun mobil mewah di dunia dan dibarengi oleh pelayanan konsumen yang prima.

Dalam jangka waktu 10 tahun, Lexus menjadi standar untuk semua mobil mewah. Lexus menjadi perwujudan visi panjang dan pemahaman pada konsumennya. Lexus memiliki anggapan bahwa untuk berhasil dalam berkompetisi, hanya memenuhi ekspektasi konsumen tidak akan cukup. Lexus harus melebihi ekpektasi konsumen dan terlihat dari hasil survei. Pada J.D. Power and Associates Customer Satisfaction Index, Lexus selalu menempati urutan atas. Lexus juga dianggap memiliki pengaruh word of mouth yang baik di industri.

Untuk dapat memenuhi konsumen dan melebihi ekspektasi, Lexus memiliki tiga tujuan:

Memproduksi produk terbaik di dunia
Memperbaiki masalah secepatnya setiap waktu
Menyediakan pelayanan dan kenyamanan pada pemilik Lexus yang belum dialami sebelumnya
Lexus adalah perwujudan sukses dari perpaduan dari warisan yang kaya dan tradisi efisiensi produksi dan melebihi ekpektasi konsumen dalam pelayanan, reliabilitas, dan value. Inti dari merek Lexus itu sendiri berarti “the relentless pursuit of perfection”, selalu mencari kesempurnaan dalam segala sesuatu.

Lexus  merancang paradigm baru dengan membuat diferensiasi di pasar. Contohnya biasanya mobil mewah tidak mengiklankan harga. Lexus memutuskan untuk tidak mengikuti tradisi tapi lebih mendengarkan konsumen. Berdasarkan riset yang dilakukan Lexus, sikap konsumen terhadap pengeluaran jumlah besar terhadap mobil telah berubah. Lexus mengkomunikasikan harga dan positioning kepada konsumen

Jim Press, CEO Lexus saat itu mengatakan bahwa business plan Lexus tidak dibangun untuk target penjualan. Lexus dibuat untuk kepuasan konsumen. Lexus selalu mengutamakan tujuan jangka panjang seperti brand equity dibandingkan tujuan jangka pendek seperti penjualan. Lexus menganalogikan brand equity seperti rekening bank. Kita selalu membuat deposit dan penarikan dimana deposit ini akan terus bertambah saat Lexus berhasil meningkatkan kepuasan konsumen

Artikel ini diadaptasi dari  buku The Brand Mindset karangan Duane E. Knapp

Di dunia marketing, kita selalu menghadapi lingkungan yang terus berubah. Bila perusahaan hendak berkembang, perubahan ini harus terus diamati dan perlu dilakukan pendekatan yang sesuai dengan perubahan tersebut. Mark & Spencer adalah merek pakaian ternama yang berasal dari Inggris. Mereka pernah melakukan kekeliruan yang dapat membahayakan bisnis retail yang mereka hadapi.

Michael Mark, pria kebangsaan Rusia menyewa satu tempat di Leeds dan kemudian ia membentuk usaha bersama dengan Tom Spencer. Pada masa-masa awal, mereka beberapa kali mengambil langkah yang cukup mengejutkan. Pada tahun 1920, mereka membeli perusahaan manufaktur. 1931, membentuk departemen yang menjual makanan. Lebih jauh lagi pada tahun 1973 mereka membuka toko di Paris dan Brussels. Mulai 1986 mulai menjual peralatan furniture dan pada tahun 1988 mereka membeli Brooks Brothers dan Kings Supermarkets di Amerika. Mereka terus melanjutkannya dengan membuka beberapa toko di daerah Timur Tengah. Walaupun semuanya terlihat baik, namun sebenarnya perusahaan sedang menghadapi permasalahan besar terutama pada core business perusahaan.

Pada tahun 1998, penghasilan Mark & Spencer jatuh bebas. Permasalahan terbesar ada pada area retail namun pada operasional internasional bisnis juga semakin suram. Di sini pihak manajemen juga sadar bahwa grand strategy perusahaan ternyata gagal dilakukan.

Selama 1990 an, Mark & Spencer melakukan revolusi perubahan pada retail di Inggris, terutama dalam peningkatan customer service dan di dalam persaingan kompetisi.

Langkah ini sebagai diambil setelah Marks & Spencer gagal untuk menyadari perubahan dalam pasar. Richard Greenbury yang menjadi pimpinan perusahaan pada tahun 1988 mengambil kebijakan untuk mengontrol biaya yang dikeluarkan perusahaan dengan menyediakan jumlah konsumen dalam jumlah minimum. Pada pertengahan tahun 1990-an, ekspektasi konsumen meningkat dan toko pesaing meresponnya dengan meningkatkan tingkat pelayanan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Hal ini tentu tidak dapat diimbangi Mark & Spencer yang memiliki tenaga penjualan yang sedikit sehingga tidak dapat mengimbanginya. Hasilnya pelayanan menjadi semakin buruk dan konsumen semakin kecewa.

Permasalahan yang dihadapi Mark & Spencer adalah permasalahan klasik dimana perusahaan menggunakan pendekatan Top Down. Mereka tidak mengetahui bahwa terdapat pergeseran konsumen saat itu. Konsumen yang berusia sekitar 30 tahun dan 40 tahun yang dulunya berpakaian menyerupai orang tuanya, bergeser meniru berpakaian seperti remaja. Pendekatan Top Down seringkali memaksakan sesuatu terjadi bukannya memanfaatkan peluang yang ada di pasar. Kasus ini adalah salah satu kasus menarik mengenai kesalahan pendekatan manajemen dalam mengenali konsumennya

Artikel ini diadaptasi dari buku Big Brands Big Trouble karangan Jack Trout

Rasanya tidak lengkap bila kita mengangkat topik tentang video games tapi tidak mengaitkan dengan kisah Nintendo waktu dulu saat merajai industri. Awalnya pada awal tahun 1980 an, dalam industri Atari menjual permainan seperti ping pong dan secara cepat menaikkan omset penjualan sebesar 2 milliar dollar. Akan tetapi, anak-anak secara cepat bosan dengan permainan sehingga Atari mengalami penurunan penjualan dengan cepat. Saat itu industri menjadi stagnan, tidak ada orang yang memikirkan masa depan video games kecuali produsen asal Kyoto, Nintendo.

Kesuksesan Nintendo yang pertama adalah Super Mario Brothers, dimana game ini menjadi legenda game sampai dengan saat ini. Pada game ini, kita memaikan tukang ledeng yang mengarungi petuangan dan hambatan untuk menyelamatkan tuan puteri. Tingkat penjualan game ini sangat tinggi, mencapai 39 juta kopi di seluruh dunia. Mario menjadi symbol internasional, bahkan pasar anak-anak di Amerika menyatakan Mario lebih terkenal dibandingkan Mickey Mouse.

Saat itu Nintendo memiliki lebih dari 200 games mulai dari game baseball sampai dengan peperangan abad pertengahan yang dihargai 50 dollar. Tidak seperti kompetitornya, Nintendo memproduksi kualitas produk, memperbaiki game yang rusak, dan memiliki hot line untuk setiap konsumen yang menghadapi masalah. Nintendo mengalami booming sampai-sampai satu dari empat keluarga di Amerika diklaim memiliki Nintendo di rumahnya. Bahkan banyak anak-anak yang ketagihan bermain Nintendo sehingga orang tua banyak mengeluh sulit untuk mengontrol anak saat itu.

Setelah berjalan beberapa waktu, diketahui bahwa tidak semua pengguna datang dari segmen anak-anak. 34 persen dari mereka adalah golongan dewasa yang memainkan baik game anak-anak maupun game dewasa. Pada tahun 1989, Nintendo mengenalkan Game Boy, sebuah perangkat permainan portable. Pada awalnya game yang didesain ini ditujukan untuk konsumen dewasa. Kita mengenal salah satu game yang dikembangkan Gameboy yang bernama Tetris. Game ini menarik perhatian banyak orang dan tidak sedikit yang ketagihan. Game ini pun menjadi salah satu game legenda sampai saat ini.

Nintendo membuat terobosan di dunia game dan pemasaran. Mereka berhasil menggunakan game untuk masuk ke dalam aktifitas konsumen, membangun merek Nintendo dan juga beberapa tokoh dalam permainannya menjadi banyak dikenal oleh masyarakat banyak. Nintendo terus melakukan inovasi dalam pengembangan produk sampai dengan saat ini.

Artikel ini diadaptasi dari buku Consumer Behavior and Marketing Strategy 4th edition karangan J. Paul Peter dan Jerry C. Olson

Di antara jejeran mobil mewah, Jaguar adalah pemain yang cukup lama yang meramaikan persaingan dalam industri. Simbol macan kumbangnya dengan model mobil yang elegan menjadi ciri khas tersendiri selama bertahun-tahun. Namun Jaguar juga pernah mengalami permasalahan dimana konsumen memiliki persepsi yang buruk mengenai image produk perusahaan.

Pada awal tahun 1980 an, Jaguar berada dalam situasi yang buruk. Penjualan turun terutama di pasar Amerika Serikat. Kualitas produk sangat buruk dan pemilik kendaraan memiliki persepsi negatif pada nama perusahaan, mobil, dan dealer.

Masalahnya Jaguar dianggap tidak mengembangkan mobilnya dengan baik. Jaguar dianggap sebagai produsen mobil yang membosankan dan kurang menarik. Konsumen juga memiliki persepsi bahwa Jaguar memiliki keraguan mengenai reliabilitas dan kualitas produk. Bahkan Jaguar sempat diolok-olok, “Jaguar sebaiknya mulai menjual produk dengan berpasangan, sehingga konsumen dapat menggunakan satu untuk berkendara dan lainnya dalam bengkel.”

Pihak manajemen, buruh pabrik, dan dealer mengambil pengukuran terhadap kualitas produksi dan pelayanan dealer. Perusahaan juga menerapkan kebijakan untuk memberikan garansi selama dua tahun. Kepercayaan dan sikap konsumen mulai berubah dan penjualan meningkat secara dramatis. Untuk mengetahui bagaimana perasaan konsumen terhadap mobilnya, manajemen Jaguar mulai mengamati sikap konsumen terhadap mobilnya, dealernya, dan perusahaan. Setiap bulannya, Perusahaan menyewa perusahaan riset untuk mengetahui pendapat konsumen.

Pada hasil awal, diketahui bahwa tingkat kepercayaan konsumen telah meningkat namun konsumen masih memiliki persepsi buruk pada dealer. Tindakan selanjutnya, Jaguar menutup 20 persen dealernya yang memiliki kinerja terburuk yang dikombinasikan dengan kualitas produk dan jasa dan menghasilkan perbaikan persepsi konsumen terbesar yang pernah tercatat. Hasilnya pada tahun 1985, Jaguar menempati posisi kelima pada pasar Amerika untuk perilaku konsumen di belakang Honda. Pada pasar mobil mewah, Jaguar hanya kalah dengan Mercedes Benz. Tentu saja, tidak semua pemilik konsumen Jaguar yang memiliki sikap positif, tetapi perubahan sikap telah berhasil dilakukan.

Pada awal 1990 an, penjualan di pasar mobil mewah jatuh menurun. Jaguar pun terkena imbasnya karena bergerak di industri terkait walaupun mereka berhasil menurunkan produk cacat sebesar 80 persen. Tim manajemen mengambil langkah untuk membuat iklan yang mengaitkan hubungan antara konsumen dan mobil Jaguar. Selain itu juga tim manajemen memangkas harga untuk beberapa model dan melakukan perubahan mesin. Penjualan sempat membaik antara tahun 1993 sampai dengan tahun 1994. Tetapi sikap konsumen tetap memburuk. Tantangan terbesar yang Jaguar hadapi adalah bagaimana mengatasi ketakutan konsumen untuk memiliki produk Jaguar.

Dari kasus ini kita belajar bagaimana perusahaan memiliki kesulitan untuk memperbaiki citra dan merubah sikap konsumen menjadi positif pada perusahaan.

Artikel ini diadaptasi dari buku Consumer Behavior and Marketing Strategy 4th edition karangan J. Paul Peter dan Jerry C. Olson

General Motors didirikan oleh William Durant pada tahun 1904. Konsep dasar perusahaan saat itu berfokus untuk mengakuisisi sejumlah perusahaan mobil ketika industri yang berkembang ini diserbu oleh perusahaan manufaktur mobil. Pada tahun 1910, pemilik mengakuisisi 17 perusahaan mobil termasuk Oldsmobil, Buick, dan Cadillac.

Pada tahun 1918, Alfred Sloan masuk ke dalam GM sebagai wakil presiden operasional. Alfred menghadapi masalah mengenai lini produk perusahaan, perusahaan tidak memiliki panduan kebijakan dari merek-merek mobilnya. Tujuan perusahaan hanya menjual mobil yang seringkali mengambil penjualan dari merek lainnya. Beberapa lini produknya seperti Buick dan Cadillac bahkan merugi terus. Kesimpulan awal Sloan adalah terlalu banyak model dan duplikasi. Kemudian ia melakukan multibrand strategy dengan cara membagi merek-merek yang dimiliki menjadi lima kelas dan membuat perbedaan berdasarkan kualitas dan harga. Hal ini dianggap sebagai awal mula pemberlakukan segmentasi pasar.

Hasilnya kelima merek ini berhasil menguasai 57 persen pasar Amerika. Pada pertengahan tahun 1950 an, fed Amerika memutuskan untuk memecah perusahaan untuk menghindari praktek oligopoly yang tidak sehat. Dan pada tahun 1958, Frederic Donner menjadi chairman dan CEO perusahaan. Untuk meningkatkan profit, ia melakukan langkah untuk menyeragamkan part-part mobil. Dampaknya secara perlahan keunikan masing-masing produk menjadi hilang. General Motors merubah strategi dari multipled brand strategy menjadi similar brand strategy.

Akibatnya dapat dilihat pada tahun 1921, dimana mobil-mobil yang tidak terdiferensiasi ini bersaing satu sama lain. Market share GM turun dari 57 persen menjadi 28 persen, jumlah ini setara dengan 90 milliar dollar saat itu. Kesalahan GM saat itu adalah dengan menambahkan kompleksitas pada lini yang memang sudah kompleks dengan terlalu banyak mobil yang mirip.

Seringkali kesuksesan perusahaan menjadi awal mula kehancuran. Ego menjadi musuh besar keberhasilan pemasaran. Perusahaan yang sukses seringkali cenderung kurang objektif dalam menentukan sesuatu. Ketika merek menjadi berhasil, perushaan seringkali memiliki asumsu bahwa kesuksesan disebabkan oleh nama yang dibawa, sehingga mereka seringkali memberikan nama tersebut ke semua lini produk. Sebetulnya nama tidak serta merta membuat merk menjadi sukses. Suatu merek menjadi sukses karena perusahaan mengambil langkah pemasaran yang baik.

Di sini GM melupakan suatu hal penting, mereka membuat produk yang mirip untuk menekan biaya namun melupakan diferensiasi produk. Akibatnya antara produk perusahaan sendiri terjadi proses kanibalisasi. Dan mereka pun kesulitan menghadapi persaingan antara produsen mobil. Perlu diingat posisi market leader tidak menjamin perusahaan akan terus sukses. Perusahaan harus memantau terus menerus perkembangan lingkungan bisnis sekitarnya.

Artikel ini diadaptasi dari buku Big Brands Big Trouble karangan Jack Trout

Celana jins sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Semua orang dari berbagai kalangan, dari berbagai umur, memakai celana tipe ini di berbagai acara. Dari mana asal usulnya celana jins?

Kisah bermula dari tahun 1853, dimana Levi Strauss membuka toko kelontong di San Francisco. Sebagian besar konsumen dari toko ini adalah para penambang emas. Konsumennya ini sering mengeluhkan kualitas celana mereka dari segi daya tahan. Banyak dari celananya yang tidak tahan dipakai dalam keseharian pekerjaan mereka. Untuk mengatasi hal ini, Strauss mencoba untuk membuat celana dari bahan jins dan mewarnainya dengan warna biru.

Tahun 1873, Strauss memproduksi celana pertama dengan kode 501. Celana ini disukai oleh konsumen dan dengan segera menjadi “seragam” bagi pada penebang pohon, cowboy, pekerja rel kereta api, penambang minyak, dan petani. Pada tahun 1950 an, celana ini menjadi tren di kalangan anak muda dam pada tahun 1960 an perusahaan memperkenalkan pakaian wanita dan melakukan ekspansi keluar negeri.

Levi’s kemudian melakukan kesalahan pertamanya. Pada saat itu, perusahaan sedang berkembang dan mereka mulai melakukan diversifikasi produk. Levis berubah menjadi produsen pakaian lengkap dan dengan cepat kalah bersaing dengan produsen pakaian wanita lainnya. Untungnya, meskipun Levis gagal di bisnis pakaian, produk jins nya terus mengalami perkembangan. Puncaknya padah tahun 1981, Levis berhasil menjual 502 pasang jins hanya di pasar Amerika saja. Pasarnya pun meluas sehingga menjangkau segmen pasar yang belum terjangkau sebelumnya.

Ternyata tidak lama kemudian, Levis menghadapi gempuran dari banyak kompetitor. Beberapa desainer dan merek yang lebih terfokus mulai masuk ke produk jins. Levi’s cukup kesulitan menghadapi persaingan ini. Sebagai gambaran, pada tahun 1990, Levi’s memiliki pangsa pasar sebesar 48.2 persen dari pasar jins. Pada tahun 1998, pangsa pasar turun menjadi 25 persen.

Dalam kasus ini, Levi’s gagal untuk memanfaatkan posisinya sebagai innovator sekaligus sebagai market leader industri. Mereka sempat membuat kesalahan dengan masuk ke pasar yang baru, namun tidak mampu berbuat banyak. Di kategori celana jins, Levi’s lengah dan terlalu terburu-buru dalam mencoba terobosan produk namun gagal bila dibandingkan pengembangan produk yang dilakukan kompetitor.

Bagaimana pun Levi’s Strauss telah berhasil membuat tren celana jins yang banyak dikenal di berbagai negara. Tidak seperti Coca Cola, Levi’s Strauss gagal mempertahankan posisi market leader di kategori produk ini. Coca Cola juga pernah mengalami persaingan sengit dengan Pepsi namun berhasil mempertahankan posisinya dengan cara kembali ke karakter “original” mereka. Levi’s pun mengalami hal yang sama, namun memberlakukan kesalahan strategi yang cukup signifikan

Artikel ini diadaptasi dari buku Big Brands Big Trouble karangan Jack Trout